Mengapa Harus Jumpa
kennarayan
09.10
Hai kamu!!
Sudah lama tak jumpa. Terasa seperti sangat lama. Terhitung tahunkah.
Aku tak mau bicara tentang rindu. Hanya ingin jumpa yang menggebu.
Kenapa tak jumpa
Jujur aku punya rasa
Ada yang mengikat kata
Memandangmu dengan berbagai warna
Tapi aku melihat kabar dari partikel layang yang tertangkap
layar
Mengapa harus jumpa (dengan tanda tanya)
Sebab sudah lama kita tak sua
Tak bicara
kennarayan
10.59
Tak bicara. Atau hanya tak mampu. Aku bersembunyi dibalik
kata. Banyak terpikirkan saat tak besama. Saat bertatap ada senyum yang
menghentikan waktu.
Sesak di dada. Tenggelam. Tersedak air keraguan akan sebuah
jawaban. Bukan itu. Aku lebih takut bicaraku tak sampaikan segala. Tak ungkapkan
isi kepala. Tapi kata juga terlalu bermakna. Yang justru membuatnya jadi rancu.
Aku dalam usaha. Aku dalam juang menyampaikan sesuatu. Tak ada
maksud tertentu.
Hanya ingin kau tahu.
Diantara kita yang tak saling bicara. Kau tahan waktu
bersama rindu.
Aku tak bicara. Tapi jelas berkata. Aku menulisnya. Mendekatlah.
Tapi jangan kau cari sempurnanya manusia. Aku akan sampaikan sebuah cerita
dimana waktu bersama sementara dan pernah. Dingin dan hujan bekukan kita. Dalam
tawa dan canda. Tapi sekarang bicara aku tak bisa.
Laki-laki dengan tattoo bertuliskan nama perempuan lain.
kennarayan
00.30
Hai, laki-laki. Iya, kamu. Dengan tattoo di lengan sebelah
kanan. Tanganmu tak terlalu kecilkah untuk kau hiasi. Tak apa. Itu indah. Sesuatu
dengan warna hitam itu sebuah kesederhanaan. Namun aku tak mampu dengan jelas
melihat bentuknya. Laki-laki dengan tattoo di lengannya. Berkaus abu-abu dan
bercelana jeans. Menatap dalam dengan matanya yang tak besar. Melangkah seirama
dengan waktu. Mendekat perlahan kearahku.
Hai, laki-laki. Kamu, siapa lagi?
Bukan apa-apa kamu tersenyum. Hanya saja sapa itu terlalu
berarti. Sedikit mengangguk dengan senyum yang semakin sumringah. Apa kita pernah bertemu? Tak ada yang bisa menjawab,
termasuk aku. Kamu seperti sudah ada dalam hari-hariku. Namun, mengapa aku tak
mampu menyapanya? Tak mampu berlari kearahnya lalu memeluknya seperti dulu. Aku menghindari tangis dan cemburu yang ada jika aku lakukan itu.
Sayang kejadian itu hanya terhitung detik. Terlalu menikmati
waktu aku di dalamnya. Tanpa sadar kamu sudah menggenggam tangan perempuan lain. Menatapnya.
Tersenyum lebih lebar lagi. Dengan perempuan itu kau terlihat lebih bahagia. Bahkan
kamu terlalu bahagia untuk terus ku pandangi. Apalagi ‘Cicile’ dengan font
italic melekat di tanganmu. Aku turut tersenyum. Bahkan kamu menuruti segala
ingin perempuan itu. Jelas aku mengerti. Semudah itu kamu memberikan yang
perempuan itu tunjuk: sebuah balon berbentuk sponge bob.
Kau ayah yang luar biasa.
Jakarta, 250115
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
*ini buat temen yang udah lama kenal. dan ini pertama kalinya kita jalan(cfd-an) bareng lagi, dan anaknya yg lucu banget itu. dan gak nyangka aja kalau seorang Adhi itu udah punya anak dengan jiwa bapak-bapak yg keren banget. kadang pengen manggil lu babon di depan anak lu. hahahahaha*
Dituntut Bertarung
kennarayan
07.20
Entah sejak kapan. Entah saja. Tak tahu. Kadang masih banyak
nafas yang tersengal saat ingin ku hela. Berat di pikir berat dijalani. Hanya saja
ini sudah berjalan sebegitunya. Apa banyak manusia besar merasakan hal serupa. Hal
yang kadang merasa ingin tidak apa-apa saja. Bukan menyerah. Setidaknya kalah
itu tak dirasa. Entah sejak kapan. Kadang memang aku yang menantang untuk
bertarung. Kadang aku juga yang mengindari ring tersebut. Sepertinya aku
berjalan sudah jauh. Hingga lelah rasa di langkah. Namun yang kudapat apa. Tidak
pernah sebesar semangat yang awalnya membara. Sekarang tidak. Tidak saja. Sepertinya
aku naik sudah tinggi. Hingga tipisnya atmosfer semangatnya ini kurasa. Lelah. Tak
ada yang ku capai. Tak ada yang ku dapat. Bukan menyerah. Hanya saja lelah. Lelah
saja.
Mungkin terlalu tinggi ekspektasi terhadap keberhasilan dari
segala korelasi perilaku dan tekat. Namun usaha itu tak ada ujungnya. Tapi jika
sudah lelah siapa yang mau disalahkan. Bukan menyerah. Hanya saja lelah. Kadang
emosi saja mengingat segala rapi menyusun rencana. Habiskan waktu hanya untuk
kecewa. Bukan menyerah. Hanya saja tidak melakukan apa-apa justru yang tidak
sia-sia. Persetan dengan segala expectation. Hancur sudah. Bukan kalah. Hanya saja
tidak kalah akan lebih baik. Kesal. Lebih banyak kesal. Hanya saja ada titik
yang sudah kupandangi dari jauh. Setiap mendekat titik itu berlari menjauh.
“Tidak begini seharusnya”. Itu menurut pikiranku. Namun ketika
kita bicara kenyataan maka bukan tentang pikiran atau omongan. Namun tentang
segala yang kelihatan. Yasudah kesal hanya menyksa diri. Hampir menyerah. Tapi tidak
ingin menyerah. Hanya saja hati ini tinggal setengah. Kaki ini tinggal sebelah.
Semangat ini tidak seutuhnya. Kembali bukan jawaban sepertinya. Maju-pun tak
semudah kelihatannya. Hanya mampu mengikuti alurnya. Ini jelas bukan pilihan. Ini
tuntutan. Walau tak mungkin. Walau kecewa. Walau tak sesuai. Aku akan
menghentikannya sementara. Rehat dari segala prasangka. Tingga dunia paham dan
mau berpihak untukku.
Dari tempat yang disebut rumah. Dari hati yang entah kemana.
Dari diri yang jelas kalah.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
2 komentar :
Posting Komentar